Kamis, 03 Juli 2008

Metafisika, Asumsi, Peluang, dan Batas-batas Penjelajahan Ilmu
Kurniawan
1. Metafisika

Bidang telaah filsafat yang disebut metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafat termasuk pemikiran ilmiah. Diibaratkan pemikiran adalah roket yang meluncur ke bintang-bintang, menembus galaksi dan awan, maka metafisika adalah landasan peluncurnya. Dunia sepintas lalu kelihatan sangat nyata ini, ternyata menimbulkan berbagai spekulasi dan tafsiran filsafat tentang hakikatnya.

Tafsiran yang diberikan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat ujud-ujud yang bersifat gaib (supernatural) dan ujud-ujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Animisme merupakan kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme; dimana manusia percaya akan adanya roh-roh gaib yang terdapat pada benda-benda seperti pohon, batu, dan lain-lain. Animisme mrupakan aliran kepercayaan paling tua dalam sejarah perkembangan budaya manusia.

Sebagai lawan dari supernaturalisme maka terdapat paham naturalisme yang menolak pendapat bahwa terdapat ujud-ujud yang bersifat supernatural. Materialisme yang merupakan paham berdasarkan naturalisme berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan yang bersifat gaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri yang dapat dipelajari dan diketahui.

Gejala alam dapat didekati dari segi proses kimia-fisika. Hal ini tidak terlalu menimbulkan permasalahan selama diterapkan pada zat-zat yang mati seperti batuan atau besi. Namun bagaimana dengan makhluk hidup termasuk manusia sendiri? Dalam hal ini kaum yang menganut paham mekanistik ditentang oleh kaum vitalistik.
Kaum mekanistik melihat gejala alam hanya merupakan gejala kimia – fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substantif dengan proses tersebut diatas.

2. Asumsi

Pada suatu hari, seorang jago tembak kenamaan ditantang oleh seorang petani yang mabuk. Petani itu adalah orang biasa jadi sama sekali bukan tipe jago tembak. Cuma karena mabuk saja dia berani dan berlagak jago tembak. Para Bandar berfikir untuk menetukan pilihan. Pada awalnya semua berfikir untuk memilih jago tembak kenamaan dari pada petani itu. Namun tiba-tiba para Bandar itu mulai berfikir dua kali dalam mengambil keputusan dalm menentuakn pilihan. Mereka berfikir siapa tahu tiba-tiba peluru jagoan itu macet karena setahu mereka biasanya dari 100 peluru, yang satu akan macet ketika digunaka. Walaupun kemungkinannya 1 dibanding 100, hal ini menyebabkan para Bandar merenung lagi. Mereka menduga-duga apakah gejala dalam alam ini akan tunduk kepada determinisme, yakni hukum alam yang besifat universal, ataukah hukum semacam ini tidak terdapat sebab setiap gejala adalah akibat pilihan bebas ataukah keumuman ada namun berupa peluang, sekedar tangkapan probabilistik. Ketiga masalah ini, yakni determinisme, pilihan bebas, dan probabilistik merupakan permasalahan filsafat yang rumit namun menarik.
Apabila hukum yang mengatur kejadian alam tidak ada, maka determinisme, probabilitas dan kehendak bebas tidak akan pernah muncul. Dengan demikian maka tidak akan ada masalah tentang hubungan logam dan panas atau tekanan dan volume. Sehingga ilmu pun tidak akan ada karena ilmu itu mempelajari hukum alam.
Jadi mari kita asumsikan bahwa hokum yang mengatur berbagai kejadian itu memang ada, sebab tanpa asumsi ini maka semua pembicaraan kita akan sia-sia.

3. Peluang
Berdasarkan meteorologi dan geofisika seseorang tidak dapat memastikan bahwa besok hujan atau tidak. Peluang dalam hal ini secara sederhana dapat diperkirakan 0,8 artinya kemungkianannya bahwa besok hujan adalah 8 dari 10. Artinya dari sepuluh ramalan, delapan akan benar –benar hujan dan dua akan meleset.
Pertama harus kita sadari bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi kita untuk mengambil keputusan, diamana keputusan harus berdasarkan penafsiran kesimpukan ilmiah yang bersifat relatif dengan demikian maka kata akhir dari suatu keputusan terletak ditangan kita dan bukan di teori-teori keilmuan.
Oleh sebab itu kita mempunyai pengetahuan ilmiah yang menyatakan bahwa sekiranya hari mendung maka terdapat pelung 0.8 hujan maka pengetehuan itu harus kita meletakkan pada permasalahan hidup kita yang mempunyai perspektif dan bobot berbeda.

4. Beberapa Asumsi dalam Ilmu

Kita perlu membuat kotak-kotak dan batsan dalam bentuk asumsi yang kian sempit. Dalam mengembangkan asumsi, harus diperhatikan beberapa hal. Yang pertama, asumsi harus relevan dengan kajian bidang ilmu pengetahuan, asumsi harus operasional dan merupakan dasar pengkajian teoritis. Asumsi bahwa manusia adalah administrasi adalah filfafati tetapi tidak berarti apa-apa dalam penyusunan teori administrasi. Asumsi manusia dalam asdministratif yang bersifat operasional adalah makhluk ekonomis, makhluk social, makhluk aktualisasi diri. Berdasarkan asumsi ini maka dapat dikembangkan berbagai model, strategi dan praktek administrasi. Asumsi bahwa manusia adalah makhluk administrasi, dalam pengkajian administrasi, akan menyebabkan kita berhenti di situ. Seperti sebuah lingkaran, setelah berputar kita kembali ke tempat semula. Kedua, asumsi ini harus disimpulkan dari “kedaan sebagaimana adanya “bukan” keadaan sebagaiamana seharusnya.” Asumsi pertama adalah asumsi yang mendasari telaah imiah. Sedangkan asumsi kedua adlah asumsi yang mendasari telaah moral. Sekiranya dalam kegiatan ekonomis maka manusia yang berperan adalah manusia yang mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan korbanan sekecil-kecilnya. Maka itu sajaalah yang kita jadikan sebagai pegangan tak perlu ditambah dengan sebaiknya begini atrau seharusnya begitu. Sekiranya asumsi seerti ini digunakan dalam pengambilan kebijakan atau strategi serta penjabaran peraturan lainnya.



5. Batas-batas penjelajahan ilmu

Apakah batas yang merupakan penjelajahan ilmu? Dimanakah ilmu berhenti dan menyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi karakteristik objek kajian ontologis ilmu yang membedakan ilmu dengan pengetehuan-pengetahuan yang lain? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu adalah sangat sederhana. Ilmu mulai penjelajahanya pada pengalaman manusia dan berhenti dibatas pengalaman mnusia. Apakah ilmu mempelajari sebab musabab terjadinya manusia ? jawabnya juga tidak, sebab itu berada diluar jangkauan pengalaman kita.
Mengapa ilmu membatasi hal yang berbeda daripengalaman kita? Jawabnya terletak pada fungsi ilmu itu sendiri. Yakni sebagai alat bantu manusia dalam menanggulangi maslah-masalah. Yang dihadapinya sehari hari,. Ilmu diharapkan membantu kita memerangi penyakit, membangun jembatan, membikin irigasi, membangkitkan tenaga listrik dan sebagainya. Mengenai hari kemudaain tidak kita tanyakan kepada ilmu melainkan kepada agama.
Ilmu berkembang demikian pesat demikian juga cabang-cabangnya. Tiap cabang kemudiam membuat ranting –ranting baru seperti fisika berkembang menjadi mekanika, hidrodinamika, bunyi ,cahaya, panas, kelistrikan damn magnetisme.





Daftar Pustaka
Jujun. S, 1996. Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Santoso, 1979. Agama, Ilmu Penetahuan, dan Masyarakat.. Jakarta: Pustaka.
Wilardjo, 1978. Ilmu dan Humaniora. Jakarta: Gramedia.
Pengertian Ekologi Budaya

oleh Kurniawan

Ekologi Budaya adalah sebuah cara pandang memahami persoalan lingkungan hidup dalam perpektif budaya. Atau sebaliknya, bagaimana memahami kebudayaan dalam perspektif lingkungan hidup. Ulang-alik antara lingkungan hidup (ekologi) dan budaya itulah yang menjadi bidang garap Ekologi Budaya, atau disingkat Elbud. Ekologi budaya muncul sebagai hasil kerja Carl Sauer pada geografi dan pemikiran dalam antropologi. Ekologi budaya mempelajari bagaimana manusia beradaptasi dengan lingkungan alamnya.
Suatu ciri dalam ekologi budaya adalah perhatian mengenai adaptasi pada dua tataran: pertama sehubungan dengan cara system budaya berdaptasi terhadap lingkungan totalnya, dan kedua sebagai konsep adaptasi sistemik, perhatian terhadap cara institusi-institusi dalam suatu budaya baradaptasi dan saling menyesuaikan diri. Ekolog budaya menyatakan bahwa diperlukannya proses-proses adaptasi akan memungkinkan kita melihat cara kemunculan, pemeliharaan dan transformasi sebagai konfigurasi budaya.
Unit adaptasi makhluk manusia meliputi organisme dan lingkungan yang merupakan suatu ekosistem; yaitu system atau kesatuan yang berfungsi, dan terdiri atas lingkungan fisik berikut berbagai organisme yang hidup di dalamnya. Proses adaptasi telah menghasilkan keseimbangan yang dinamis karena manusia sebagai bagian dari salah satu organisme hidup dalam lingkungan fisik tertentu. Melalui kebudayaan yang dimilikinya ia mampu mengembangkan seperangkat system gagasannya, dengan kata lain manusia sebagai salah satu bentuk organisme, melalui system gagasan yang dikembangkan dan dimilikinya, mampu menyesuaikan diri dengan bagian dari ekosistem.
Dalam berdaptasi dengan lingkungan, menurut Steward, manusia memiliki corak yang khas dan unik, salah satunya adalah, proses perkembangan kebudayaan. Proses perkembangannya di berbagai belahan bumi tidak terlepas antara satu dan lainnya; dan bahkan ada beberapa diantaranya yang tampak sejajar terutama pada system mata pencaharian hidup, system kemasyarakatan dan system religi. Hal ini dikarenakan perkembangan yang sejajar di daerah tertentu. Misalnya pada masyarakat berburu; ada kecenderungan mereka hidup di lingkungan alam yang sulit dengan binatang buruan yang hidup terpencar. Agar ia mendapat binatang buruan, mereka harus benar-benar mengenal lingkungan alam tempat mereka berburu. Untuk itu mereka harus hidup berklompok. Karenanya kalau mereka harus mengambil wanita untuk dikawini, mereka harus membawa gadis itu ke dalam kelompoknya.
Apabila dalam suatu lingkungan tertentu jumlah binatang buruan terbatas, ia harus hidup dalam kelompok-kelompok kecil. Sebaliknya jika daerahnya luas dan jumlah binatang hidup dalam kawanan yang besar dan berpidah-pindah berulang menurut musim, maka jumlah anggota kelompok berburu juga besar. Untuk itu mereka harus mengembangkan pola-pola hubungan dengan kerabat wanita isterinya baik berkaitan dengan pola menetap sesudah nikah maupun adat perkawinannya, ataukah sesame anggota ataukah dengan gadis lain di luar kelompoknya.
Demikian halnya pada kalangan masyarakat yang telah mengenal system pertanian. Tatkala jumlah penduduk sedikit dan tanah masih sangat luas, mereka harus hidup terpencar dalam desa-desa kecil. Apabila jumlah penduduk semakin banyak maka akan terjadi kekurangan tanah sehingga orang tidak lagi dapat begitu saja meninggalkan ladang mereka yang sudah tidak subur. Orang akan terpaksa mengerjakan bidang tanah untuk kurun waktu yang lama. Dan ini hanya mungkin dilakukan jika ada irigasi dan pemupukan.
Pertanian irigasi telah menimbulkan pengelompokan manusia dalam desa-desa kecil yang saling berpencar dan semakin lama desa itu menjadi semakin besar. Pertanian menetap membuat orang menolah tanahnya secara intensif karena itu munculah teknologi-teknologi seperti bajak dan pemanfaatan binatang sebagai pengganti tenaga manusia. Akibatnya terbentuklah struktur masyrakat pada bentuk baru, dan akhirnya berkembang pula irigasi untuk mengolah tanah yang tidak subur. Timbullah system irigasi dengan organisasi dan orang-orang mengatur irigasi dan muncul pula pelapisan masyarakat. Mereka yang mengatur irigasi menjadi yang berkuasa sehingga muncullah adapt yang mengatur antara orang yang berkuasa dengan anggota masyarakat.
Dalam perkembangan kemudian, semakin lama kehidupan mereka semakin kompleks. Sementara itu di kalangan masyarakat juga terjadi atau muncul berbagai ejnis pekerjaan, demikian dan seterusnya. Untuk itu diperlukan aturan yang mengatur hubungan diantara masyarakat.
Demikian ekologi budaya membicarakan interaksi bentuk-bentuk kehidupan dalam suatu ekosistem tertentu dan membahas cara manusia membentuk ekosistem itu sendiri.
Daftar Pustaka

Albert A, David Kaplan, Hari, Dr. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Dahler, Franz, Eka Budianta. 2000. Pijar Peradaban Manusia: Denyut Harapan Evolusi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Poerwanto, Hari, Dr. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rabu, 02 Juli 2008

ANALISIS WACANA LAGU CAMELIA
KARYA EBIET G ADE
KAJIAN TEKSTUAL DAN KONTEKS SITUASI

Kurniawan

A. Pendahuluan
1. Wacana
Kridalaksana (2001) menyatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hirearki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap.
Menurut Leech (1974) di dalam Yuwono (2005) wacana dapat diklasifikasikan atas:
wacana ekspresif, apabila wacana itu bersumber pada gagasan penutur atau penulis sebagai sarana ekspresi, seperti wacana pidato
wacana fatis apabila wacana itu bersumber pada saluran untuk memperlancar komunikasi, seperti wacana perkenalan dalam pesta
wacana informasional, apabila wacana itu bersumber pada pesan atau informasi, seperti wacana berita dalam media masa
wacana estetik, apabila wacana itu bersumber pada pesan, seperti wacana puisi dan lagu
wacana direktif, apabila wacana itu diarahkan pada tindakan atau rekreasi dari mitra tutur atau pembaca.
Wacana yang akan dianalisis dalam makalah ini adalah lirik lagu Camelia karya Ebiet G Ade yang dikategorikan sebagai wacana estetik.

2. Mengapa lagu Camelia dipilih?
Ada beberapa alasan mengapa lagu Camelia diplih sebagai objek dalam analisis wacana di makalah ini. Salah satu hal yang menjadi alasan adalah lagu ini ditulis dan dinyanyikan oleh salah seorang penyanyi sekaligus penulis lagu ternama seantero Indonesia yang sebenarnya dia lebih senang disebut penyair, Ebiet G Ade. Eksistensinya di blantika musik Indonesia selama kurang lebih tiga dekade menjadi evidensi bahwa dia adalah musisi besar yang patut diperhitungkan dan dihargai. Apalagi bila ditengok banyaknya judul lagu yang telah dia telurkan dan banyaknya apresiasi yang dia dapatkan di berbagai event baik dalam negeri maupun luar negeri seperti Jepang dan Malaysia.
Lagu Camelia merupakan salah satu lagu hits yang sekaligus sebagai judul album pertamanya yang dirilis pada tahun 1979. Camelia adalah lagu yang fenomenal dan monumental. Lagu cinta ini menjadi akrab di telinga masyarakat karena seringnya diperdengarkan melalui media elektronik. Hanya dalam waktu singkat setelah perilisan, lagu ini langsung meledak di pasaran. Camelia memiliki syair yang sangat indah dengan diksi yang mudah diterima di telinga namun mengandung makna atau pengertian yang dalam.
Sampai saat ini, setelah hampir tiga puluh tahun perilisan, lagu Camelia masih sering terdengar di media. Apalagi dalam setiap konser musik yang Ebiet adakan, baik dalam event besar maupun kecil, lagu Camelia hampir tidak pernah ketinggalan untuk dinyanyikan. Hal ini membuktikan bahwa lagu Camelia mempunyai sesuatu yang spesial. Karena alasan-alasan tersebut, lagu Camelia dipilih sebagai objek kajian dalam makalah ini.

3. Tentang Lagu Camelia
Lagu Camelia diciptakan oleh Ebiet G Ade. Ini adalah lagu cinta yang sangat indah dengan diksi yang menyentuh hati. Camelia lagu yang sangat akrab di masyarakat Indonesia. Meskipun untuk memahami pilihan kata yang digunakan diperlukan penafsiran yang mendalam. Dari leksikon–leksikon yang diciptakan, penikmat lagu dapat menikmati nilai estetika yang terkandung di dalamnya.
Tidak berbeda dengan lagu-lagu lain pada umumnya, lagu Camelia mempunyai kisah di dalamnya. Meskipun cerita di dalamnya sederhana, cerita itu menjadi menarik karena dibungkus dengan apik melalui deretan kata yang indah.
Lagu ini berkisah tentang seorang pria yang merindukan gadis idamannya yang selama ini selalu menghampiri mimpi-mimpinya. Dia berharap agar hidupnya tidak sepi lagi dengan kehadiran gadis tersebut. Kini dia menemukan seorang gadis yang bernama Camelia. Camelia datang mengisi hidupnya dan memberikan cintanya. Dia menganggap Camelia sebagai cahaya hidupnya dan memastikan bahwa Camelia adalah gadis impiannya yang selama ini menghiasi bunga tidurnya, sehingga hidupnya yang kesepian dapat terisi dan ceria kembali.

4. Tentang Ebiet G Ade dan karyanya
Ebiet G. Ade lahir di Wanadadi, Banjarnegara, 21 April 1955, dikenal sebagai penyanyi dan penulis lagu yang telah melegenda. Lagu-lagu yang ditelurkannya memiliki nuansa balada dan berkekuatan pada makna-makna syairnya.Ebiet memasuki lingkungan seniman Yogyakarta sejak 1971. Motivasi terbesar yang membangkitkan kreativitas karya-karyanya adalah ketika bersahabat dengan Emha Ainun Nadjib (penyair), Eko Tunas (cerpenis), dan E.H. Kartanegara (penulis). Beberapa puisi Emha bahkan sering dilantunkan Ebiet dengan petikan gitarnya. Walaupun, ketika masuk dapur rekaman, tidak ada syair Emha yang ikut dinyanyikannya. Pria yang lebih senang disebut sebagai penyair itu, semula hanya menyanyi dengan berkonser di Jawa Tengah dan DIY, memusikalisasikan puisi-puisi dan hanya menganggapnya sebagai hobi belaka. Namun atas dorongan para sahabat dekatnya akhirnya Ebiet bersedia juga maju ke dunia belantika musikNusantara. Ebiet terpilih sebagai penyanyi favorit Radio ABRI ( 1989-1992), BASF Pemenang Penghargaan 1984 sampai 1988, dan penyanyi yang terbaik pada tahun1997 Indonesian Musical Awards.
Sampai 1990, ia telah meluncurkan 12 album, Camellia I (1979), Camellia II (1979), Camellia III (1980), Camellia IV (1980), Langkah Berikutnya (1982), Tokoh-Tokoh (1982), 1984 (1984), Zaman (1985), Isyu! (1986), Menjaring Matahari (1987), Sketsa Rembulan Emas (1988), dan Seraut Wajah (1990).
Ebiet selama lima tahun pernah jauh dari peredaran dan baru pada 1995, dirinya mengeluarkan album Kupu-Kupu Kertas (didukung oleh Ian Antono, Billy J. Budiardjo, Purwacaraka, dan Erwin Gutawa) dan Cinta Sebening Embun - Puisi-Puisi Cinta. Pada 1996 Ebiet mengeluarkan album Aku Ingin Pulang - 15 Hits Terpopuler. Dua tahun berikutnya ia mengeluarkan album Gamelan yang memuat lima lagu lama yang diaransemen ulang dengan musik gamelan. Kemudian pada 2000 Ebiet, merilis album Balada Sinetron Cinta dan 2001 mengeluarkan album Bahasa Langit, yang didukung oleh Andi Rianto, Erwin Gutawa danTohpati.Ebiet sendiri adalah suami Yayuk Sugianto kakak dari penyanyi Iis Sugianto pada 1982. Perkawinan mereka dikaruniai 4 orang anak, masing-masing Abietyasakti Ksatria Kinasih, Adaprabu Hantip Trengginas, Byatuasa Pakarti Hinuwih, Segara Banyu Bening.

B. Analisis Tekstual Lirik Lagu Camelia
Lirik lagu Camelia adalah sebuah teks karena di dalam lagu tersebut terdapat rangkaian pernyataan bahasa yang berupa untaian kata-kata dan baris-baris kalimat yang tersusun. Dengan demikian, yang dimaksud analisis tekstual adalah analisis wacana yang bertumpu secara internal pada teks yang dikaji (Sumarlam,2004:87) yaitu berupa lirik lagu tersebut.
Berikut disajikan lirik lagu secara utuh dengan penomoran untuk mempermudah kepentingan praktik analisis dan mempermudah perujukan.
1. Dia Camelia 2. Puisi dan pelitaku 3. Kausejuk seperti titik embun membasah di daun jambu 4. Di pinggir kali yang bening
5. Sayap-sayapmu kecil lincah berkepak 6. Seperti burung camar 7. Terbang mencari tiang sampan8. Tempat berpijak kaki dengan pasti 9. Mengarungi nasibmu 10. Mengikuti arus air berlari
11. Dia Camelia 12. Engkaulah gadis itu 13. Yang selalu hadir dalam mimpi-mimpi di stiap tidurku 14. Datang untuk hati yang kering dan sepi 15. Agar bersemi lagi 16. Hmm ... Bersemi lagi
17. Kini datang mengisi hidup 18. Ulurkan mesra tanganmu 19. Bergetaran rasa jiwaku 20. Menerima karuniamu
21. Camelia oh Camelia 22. Camelia oh Camelia 23. Camelia oh Camelia

Analisis tekstual lirik lagu Camelia ini meliputi analisis aspek gramatikal dan aspek leksikal.

1. Analisis Aspek Gramatikal
Aspek gramatikal wacana adalah analisis wacana mengenai segi bentuk atau struktur lahir wacana (Sumarlam, 2003:23). Aspek gramatikal analisis lirik lagu Camelia meliputi: pengacuan (referensi), pelesapan (elipsis), dan perangkaian (konungsi).
a. Pengacuan (Referensi)
Pengacuan (referensi) merupakan salah satu jenis kohesi gramatikal berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu referen) yang mendahului atau mengikutinya. Dalam wacana lagu Camelia didapati tiga jenis pengacuan yaitu: persona, demonstratif, dan komparatif.
1) Pengacuan Persona
Realisasi dari pengacuan persona dapat dilihat dalam pronomina persona (kata ganti orang) yang terdapat dalam lagu Camelia baik persona pertama, kedua maupun ketiga. Pronomina kedua dan ketiga tunggal bentuk bebas: engkau dan dia dapat dilihat pada kutipan berikut.
(1) Dia Camelia. (1, 11)
(2) Engkaulah gadis itu. (12)
Pronomina pertama dan kedua tunggal lekat kanan –ku dan -mu pada kutipan berikut.
(3) Puisi dan pelitaku (2)
(4) Kausejuk seperti titik embun membasah di daun jambu. (3)
(5) Sayap-sayapmu kecil lincah berkepak (5)
(6) Mengarungi nasibmu (9)
(7) Yang selalu hadir dalam mimpi-mimpi di stiap tidurku (13)
(8) Ulurkan mesrah tanganmu (18)
(9) Bergetararan rasa jiwaku (19)
(10) Menerima karuniamu (20)

Kutipan (1) pronomina ketiga tunggal bentuk bebas dia dan pronomina tunggal kedua bentuk bebas engkau pada engkaulah (2)dan pronomina kedua bentuk terikat kanan –mu pada sayap-sayapmu (5), nasibmu (6), tanganmu (8) dan karuniamu (10) dan bentuk terikat kiri kau- pada kausejuk (4) merupakan pengacuan bersifat endoforis karena yang diacu berada di dalam teks yaitu, gadis atau Camelia. Sementara itu, pronomina pertama tunggal bentuk terikat kanan -ku pada pelitaku (2), tidurku (7), dan jiwaku (9) merupakan pengacuan bersifat eksoforis karena yang diacu berada di luar teks yaitu, penulis, Ebiet G Ade.

2) Pengacuan Demonstratif
Pengacuan demonstratif meliputi pengacuan demonstratif waktu (temporal) dan pengacuan demonstratif tempat (lokasional). Di dalam lirik lagu Camelia ini ditemukan kedua macam pengacuan demonstratif, waktu dan tempat, seperti pada kutipan berikut.
(11)Kausejuk seperti titik embun membasah di daun jambu. (3)
(12) Di pinggir kali yang bening (4)
(13) Yang selalu hadir dalam mimpi-mimpi di setiap tidurku (13)
(14) Kini datang mengisi hidup (17)
Pada di daun jambu (11), di pinggir kali (12), dan dalam mimpi-mimpi (13) mengacu pada demonstratif tempat sedangkan pada di setiap tidurku (13) dan kini (14) mengacu pada demonstratif waktu.

3) Pengacuan Komparatif
Pengacuan komparatif adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang memiliki kesamaan dalam bentuk sikap, sifat, watak, perilaku dan sebagainya (Sumarlam, 2003:25). Kata-kata yang digunakan dalam membandingkan yaitu, seperti, bagai, bagaikan, laksana, sama dengan, tidak berbeda dengan, persis seperti, dan persis sama dengan. Dalam lagu Camelia ditemukan hanya ada satu kata yaitu, seperti.
(15) Kausejuk seperti titik embun membasah di daun jambu. (3)
Pada kutipan 15 kata seperti mengacu pada perbandingan persamaan antara kau- yang mengacu pada Camelia dengan titik embun. pengacuan ini termasuk pengacuan endoforis karena yang diacu terdapat di dalam teks yang disebutkan sebelumnya.

b. Penyulihan (Substitusi)
Penyulihan (substitusi) merupakan salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebutkan) dengan satuan lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda. Penyulihan dapat dibedakan menjadi substitusi nominal, verbal, frasal, dan klausal. Ditemukan hanya substitusi verbal dalam lirik lagu Camelia, seperti pada kutipan berikut.
(16) Yang selalu hadir dalam mimpi-mimpi di stiap tidurku (13)
(17) Datang untuk hati yang kering dan sepi (14)

Pada kutipan 16 dan 17 tampak adanya penggantian satuan lingual berkategori verba hadir dengan satuan lingual lain yang berkategori sama, yaitu datang. Dengan demikian terjadi substitusi verbal pada kutipan tersebut.

c. Pelesapan (Ellipsis)
Pelesapan (elipsis), yaitu penghilangan satuan lingual tertentu, sering terdapat dalam lirik lagu. demikian juga dalam lagu Camelia karya Ebiet G Ade, seperti pada kutipan-kutipan berikut.
(18a) ǾPuisi dan pelitaku (2)
(18b) Dia puisi dan pelitaku
(20a) ǾTerbang mencari tiang sampan (7)
(20b) Kamu terbang mencari tiang sampan
(21a) ǾTempat berpijak kaki dengan pasti (8)
(21b) Tiang sampan tempat berpijak untuk kaki dengan pasti
(22a) Ǿ Mengarungi nasibmu (9)
(22b) Kamu mengarungi nasibmu
(23a) Ǿ Mengikuti arus air berlari (10)
(23b) Kamu mengikuti arus air sambil berlari
(24a) Ǿ Yang selalu hadir dalam mimpi-mimpi di setiap tidurku (13)
(24b) Kamu yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku di setiap tidurku
(25a) Ǿ Datang untuk hati yang kering dan sepi (14)
(25b) kamu datang untuk hatiku yang kering dan sepi
(26a) Agar Ǿ bersemi lagi (15)
(26b) Agar aku bersemi lagi
(27a) Hmm... Ǿ bersemi lagi (16)
(27b) Hmm...agar aku bersemi lagi
(28a) Kini Ǿ datang mengisi hidup (17)
(28b) Kini kamu datang untuk mengisi hidupku
(29a) Ǿ Ulurkan mesrah tanganmu (18)
(29b) Kamu mengulurkan mesrah tanganmu
(30a) Ǿ Bergetaran rasa jiwaku (19)
(30b) Sehingga bergetaran rasa jiwaku
(31a) Ǿ Menerima karuniamu (20)
(31b) Aku menerima karuniamu
Tampak pada kutipan-kutipan diatas, pronomina ketiga tunggal dia (18) dilesapkan begitu juga pronomina kedua tunggal kamu (20, 22, 23, 24, dan 25) dan pronomina pertama tunggal aku (26, 27, dan 31). Pelesapan pronomina pertama lekat kanan –ku (25 dan 28). Selain itu terjadi pula pelesapan konjungsi sehingga (30) dan agar (27), preposisi untuk (21), dan prefiks me-(29). Pelesapan-pelesapan itu terjadi karena pertimbangan keefektifan atau keefisienan kalimat, disamping itu tentunya juga untuk mengejar harmoni lirik supaya menjadi indah dan lebih ekspresif.

d. Perangkaian (Konjungsi)
Perangkaian atau konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana. Adapun unsur yang dirangkaikan dapat berupa satuan lingual kata, frasa, klausa, kaliamat bahkan paragraf. Di dalam lirik lagu Camelia ditemukan satu konjungsi dan, seperti pada kutipan berikut.
(32) Puisi dan pelitaku (2)
(33) Datang untuk hati yang kering dan sepi (14)
Dapat dilihat pada kutipan (32), konjungsi dan digunakan untuk merangkaikan nomina puisi dan pelitaku sedangkan pada kutipan (33) digunakan untuk merangkaikan ajektiva kering dan sepi. Konjungsi dalam kedua kutipan tersebut bermakna penambahan atau aditif.


2. Analisis Aspek Leksikal
Kepaduan wacana lirik lagu selain didukung oleh aspek gramatikal atau kohesi gramatikal juga didukung oleh aspek leksikal atau kohesi leksikal. Kohesi leksikal dalam wacana dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu repetisi (pengulangan), sinonimi (padan kata), kolokasi (sanding kata), hiponimi (hubungan atas-bawah), antonimi (lawan kata, oposisi makna), dan ekuivalensi (kesepadanan bentuk). Dari keenam piranti kohesi leksikal itu, tentu tidak semuanya dimanfaatkan oleh pencipta lagu dalam lagu ciptaannya.
a. Repetisi (Pengulangan)
Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberikan tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.
Repetisi yang terjadi dalam lirik lagu Camelia adalah repetisi epistrofa (Gorys Keraf, 1994: 128) yaitu pengulangan satuan lingual kata/frasa pada akkhir baris (dalam puisi) atau akhir kalimat dalam (prosa) secara berturut - turut seperti pada kutipan berikut.
(34) Agar bersemi lagi (15)
(35) Hmm...bersemi lagi (16)
Dari kedua kutipan tersebut tampak pengulangan frasa bersemi lagi. Selain itu terdapat pengulangan penuh seperti kutipan di bawah ini.
(36) Dia Camelia (1)
(37) Dia Camelia (11)
(38) Camelia oh Camelia (21)
(39) Camelia oh Camelia (22)
(40) Camelia oh Camelia (23)
Kutipan (36) diulang persis sama dengan (37) begitu juga pada kutipan (21) diulang lagi pada (22 dan 23)

b. Sinonimi (Padan Kata)
Salah satu aspek leksikal yang dimanfaatkan untuk mendukung kepaduan wacana adalah sinonimi atau padan kata. Sinonimi ini berdasarkan wujud satuan lingualnya dapat dirinci menjadi lima macam, yaitu sinonimi antara morfem bebas dengan morfem terikat, kata dengan kata, kata dengan frasa atau sebaliknya, frasa dengan frasa, klausa/kalimat dengan klausa/ kalimat. Dalam lagu Camelia ditemukan hanya satu macam sinonimi yaitu, sinonimi morfem terikat dengan morfem bebas.
(41) Kausejuk seperti titik embun membasah di daun jambu (3)
(42) Engkaulah gadis itu (12)
Pada kutipan diatas, morfem terikat kau- bersinonim dengan morfem bebas engkau.

c. Kolokasi (Sanding Kata)
Kolokasi atau sanding kata adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam suatu ranah tertentu untuk mendukung suatu tema tertentu (Sumarlam, 2003:44) . Perasaan Cinta dan keindahan dalam wacana Camelia terangkum dalam kata-kata sejuk, embun, basah, air, kali, bening, dan bersemi.
(43) Kausejuk seperti titik embun membasah di daun jambu (3)
(44) Di pinggir kali yang bening (4)
(45) Mengikuti arus air berlari (10)
(46) Agar bersemi lagi (15)
(47) Hmm...bersemi lagi (16)
Sedangkan kebahagiaan tercakup dalam kata burung, camar, sayap, berkepak dan terbang
(48) Seperti burung camar (6)
(49) Sayap-sayapmu kecil lincah berkepak
Sementara, harapan dan semangat terangkum dalam kata kaki, berpijak, dan berlari
(50) Tempat berpijak kaki dengan pasti (8)
(51) Mengikuti arus air berlari (10)
d. Hiponimi (Hubungan Atas-Bawah)
Hiponimi dapat diartikan sebagai satuan bahasa (kata, frasa, kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain. Unsur atau satuan lingual yang mencakupi beberapa unsur atau satuan lingual yang berhiponim itu disebut “hipernim”. Dalam lagu Camelia terdapat satu hiponim yaitu kata Camar yang dapat tercakup ke dalam kata burung.
(52) Seperti burung camar (6)
Camar merupakan hiponim dari kata burung

C. Analisis Konteks Situasi Lirik Lagu Camelia
Di dalam makalah ini, konteks situasi yang dikaji dibatasi pada konteks fisik, epistemis, dan konteks sosial.
1. Konteks Fisik
Konteks fisik dalam lagu Camelia terdiri atas tiga aspek yaitu terjadinya suatu peristiwa, objek atau topik yang dibicarakan, dan tindakan penulis lagu ini.
Pemahaman konteks situasi dilakukan dengan prinsip penafsiran yang meliputi; prinsip penafsiran personal, prinsip penafsiran lokasional, dan prinsip penafsiran temporal.
a. Prinsip Penafsiran Personal
Prinsip penafsiran persnal berkaitan dengan siapa yang sebenarnya menjadi partisipan dalam suatu wacana. Dalam wacana lagu Camelia , partisipan pertama adalah penulis lagu atau penyanyi yang dalam lagu ini dinyatakan dengan pronomina pertama terikat lekat kanan -ku, seperti tampak pada lirik lagu baris 2, 13, dan 19.
Penulis ditafsirkan sedang bahagia karena telah menemukan cintanya yang selama ini telah ia impikan. Bukti penafsiran tersebut dapat dilihat pada lagu baris ke 11 sampai 20. Dari lirik tersebut juga dapat diketahui bahwa penulis pernah mengalami kesedihan atau kesepian dalam hidupnya dan ia ingin hidupnya cerah kembali seperti pada lagu baris ke 14 sampai 16.
Partisipan kedua adalah gadis yang dalam lagu ini bernama Camelia yang disebut pada baris 1 dan baris ke 11. camelia adalah gadis yang cantik dan lincah yang digambarkan seperti burung camar (baris 5 dan 6). Dia gadis impian penulis (baris 11 sampai 13) yang akhirnya memberikan cintanya kepada penulis (baris 17 sampai 20). Meskipun pada penafsiran lokasional yang akan dibahas berikutnya dikatakan bahwa kisah ini terjadi di desa, ditafsirkan Camelia adalah bukan penduduk asli desa tersebut. Penafsiran ini diambil berdasarkan nama Camelia yang sebenarnya bukan nama orang desa dari Jawa, sesuai dengan daerah asal penulis, apalagi lagu ini diciptakan tahun tujuh puluhan. Selain itu, baris 11 sampai 13 juga dapat menjadi buktinya. Dari baris itu, penulis seakan-akan baru bertemu Camelia, karena selama ini dia hanya bertemu lewat mimpi saja. Karena belum pernah bertemu sebelumnya jadi dapat disimpulkan bahwa Camelia bukan penduduk setempat.

b. Prinsip Penafsiran Lokasional
Prinsip ini berkaitan dengan penafsiran tempat atau lokasi terjadinya suatu situasi (keadaan, peristiwa, dan proses) dalam rangka memahami wacana. Kisah yang terjadi di dalam lagu Camelia ditafsirkan berlokasi di sebuah desa. Hal ini dapat dibuktikan melalui frasa atau kata sejuk, titik embun, pinggir kali yang bening, dan burung camar (baris 3, 4, dan 6). Referen dari kata-kata tersebut hampir tidak dapat dijumpai di kota. Juga dapat diketahui bahwa di desa tersebut terdapat sungai yang cukup besar dibuktikan dengan kata sampan (baris 7). Sampan tidak ada di sungai yang kecil.

c. Pinsip Penafsiran Temporal
Prinsip penafsiran temporal berkaitan dengan pemahaman mengenai waktu. Berdasarkan konteksnya kita dapat menafsirkan kapan atau berapa lama waktu terjadinya situasi (peristiwa, keadaan, proses).
Dalam lirik lagu Camelia ini hanya ditemukan satu kata penanda waktu yaitu kini (baris 17). Kata kini mensiratkan waktu diciptakannya lagu tersebut, jadi dapat diperkirakan sekitar tahun tujupuluhan karena lagu dirilis tahun 1979.. Tidak dapat diketahui dengan pasti kapan kejadian ini berlangsung atau kapan lagu ini diciptakan tapi dapat ditafsirkan lagu ini tercipta tahun tujuh puluhan sebelum dia menikah. Alasan penafsiran tersebut adalah pertama lagu ini dirilis tahun 1979 dan yang kedua, dalam lagu ini berkisah tentang pencarian cinta, jadi kemungkinan saat itu dia belum menikah dan masih usia remaja.

2. Konteks Epistemis
Konteks epistemis berkenaan dengan masalah latarbelakang yang diketahui oleh penulis. Penulis lagu menemukan sebuah kenyataan bahwa mimpi yang selama ini dia alami pada akhirnya dapat terwujud dengan datangnya Camelia dalam hidupnya sehingga berakhir bahagia (baris 17 sampai 20)

3. Konteks Sosial
Konteks sosial menunjuk pada relasi sosial dan setting dalam lagu. Dalam hal ini adalah hubungan antara penulis dan gadis yang bernama Camelia yang merupakan hubungan dua manusia, laki-laki dan perempuan. Dalam hubungan ini penulis mengungkapkan kekaguman-kekagumannya terhadap Camelia sehingga tumbuh benih cinta dan pada akhirnya Camelia menerimanya (baris 17 sampai 20)

D. Penutup
Dalam analisis lagu Camelia dari dari aspek gramatikal ditemukan pengacuan (referensi) yang meliputi pengacuan persona, pengacuan demonstratif, dan pengacuan komparatif, pelesapan (elipsis), penyulihan (substitusi), perangkaian (konjungsi). sedangkan dari aspek leksikal ditemukan repetisi, sinonomi, kolokasi, dan hiponimi.
Dari konteks situasi yang dalam hal ini terdiri dari kontek fisik dapat ditafsirkan bahwa kejadian ini terdapat dua partisipan yaitu penulis dan gadis bernama Camelia. Tempat peristiwa belangsung di sebuah desa dan baru saja terjadi (sampai sekarang), dari konteks epistemis dapat ditafsirkan bahwa penulis lagu menemukan sebuah kenyataan bahwa mimpi yang selama ini dia alami pada akhirnya dapat terwujud dengan datangnya Camelia dalam hidupnya sehingga berakhir bahagia. Sedangkan dari konteks sosial, ini adalah hubungan antara dua orang laki-laki dan perempuan yang akhirya menjalin hubungan cinta.


E. Daftar Pustaka

Kridalaksana, 2001. Kamus Linguistik. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama
Kushartati, 2005. Pesona Bahasa. Depok: PT Gramedia Pustaka Utama
Sumarlam, 2003. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra
, 2004. Analisis Wacana. Bandung. Pakar Raya

www. pintunet.com

TINDAK TUTUR

TINDAK TUTUR

Kurniawan

A. Pengertian Tindak Tutur
Menurut Muhammad Rohmadi, (2004) teori tindak tutur pertama kali dikemukakan oleh Austin (1956), seorang guru besar di Universitas Harvard. Teori yang berwujud hasil kuliah itu kemudian dibukukan oleh J.O.Urmson (1965) dengan judul How to do Things with words?. Akan tetapi teori itu baru berkembang secara mantap setelah Searle (1969) menerbitkan buku yang berjudul Speech Acts : An Essay in the Philosophy of language menurut Searle dalam semua komunikasi linguistik terdapat tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bukan sekadar lambang, kata atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang, kata atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tu­tur (fire performance of speech acts.
Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Leech (1983:5-6) menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan); menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana, bilamana, bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan.
Berkenaan dengan tuturan, Austin membedakan tiga jenis tindakan: (1) tindak tutur lokusi, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna di dalam kamus dan menurut kaidah sintaksisnya. (2) tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur yang mengandung maksud; berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan, dan di mana tindak tutur itu dilakukan,dsb. (3) tindak tutur perlokusi, yaitu tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur. berikut ini adalah penjelasan lebih lengkap mengenai tindak lokusi, ilokusi dan perlokusi.

1. Tindak lokusi
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini sering disebut sebagai The Act of Saying Something. Sebagai contoh tindak lokusi adalah kalimat berikut:
(1) Mamad belajar membaca,
(2) Ali bermain piano.
Kedua kalimat di atas diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpada tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak lokusi merupakan tindakan yang paling mudah diindentifikasi, karena dalam pengidentifikasian tindak lokusi tidak memperhitungkan konteks tuturannya.

2. Tindak Ilokusi
Tindak ilakusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan atau mengintormasikan sesuatu dan dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak ilokusi disebut sebagai The Act of Doing Something. Sebagai contoh pada kalimat berikut:
(3) Yuli sudah seminar proposal skripsi kemarin.
(4) Santoso sedang sakit.
Kalimat (3) jika diucapkan kepada seorang mahasiswa semester XII, bukan hanya Sekadar memberikan informasi saja akan tetapi juga melakukan sesuatu, yaitu memberikan dorongan agar mahasis­wa tadi segera mengerjakan skripsinya. Sedangkan kalimat (4) jika diucapkan kepada temannya yang menghidupkan radio dengan volume tinggi, berarti bukan saja sebagai informasi te­api juga untuk menyuruh agar mengecilkan volume atau mematikan radionya. Tindak ilokusi sangat sulit diidentifikasi ka­rena terlebih daihuhi harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tuturnya.

3. Tindak Perlokusi
Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang pengutaraan­nya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tin­dak perlokusi disebut sebagai The Act of Affecting Someone. Sebuah tuturan yang diutarakan seseorang sering kali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force) atau efek bagi yang men­dengarnya. Efek yang timbul ini bisa sengaja maupun tidak se­ngaja. Sebagai contoh dapat dilihat pada kalimat berikut:
(5) Kemarin ayahku sakit.
(6) Samin bebas SPP.
Kalimat (5) jika diucapkan oleh sese­orang yang tidak dapat menghadiri undangan temannya, maka ilokusinya adalah untuk meminta maaf, dan perlokusinva adalah agar orang yang mengundangnya harap maklum. Se­dangkan kalimat (6) jika diucapkan seorang guru kepada mu­rid-muridnya, maka ilokusinya adalah meminta agar teman-temannya tidak iri, dan perlokusinya adalah agar teman-teman­nya memaklumi keadaan ekonomi orang tua Samin.
Tindak perlokusi juga sulit dideteksi, karena harus me­libatkan konteks tuturnya. Dapat ditegaskan bahwa setiap tuturnya dari seorang penutur memungkinkan sekali mengandung lokusi saja, dan perlokusi saja. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa satu tuturan mengandung kedua atau ketiganya sekaligus.
Pencetus teori tindak tutur, Searle (1975:59-82; lihat Gunarwan, 1994:85-86) membagi tindak tutur menjadi lima kategori:1. Representative/asertif, yaitu tuturan yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkan2. Direktif/impositif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar si pendengar melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu3. Ekspresif/evaluatif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu.4. Komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya5. Deklarasi/establisif/isbati, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dsb) yang baru.
B. Jenis Tindak Tutur
Wijana (1996:4) menjelaskan bahwa tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur tindak langsung, tindak tutur literal dan tidak literal.
1. Tindak tutur langsung dan tak langsung
Secara formal berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interrogative) dan kalimat perintah (imperative). Secara konvensional kalimat berita (deklaratif) digunakan untuk memberitahukan sesuatu (informasi); kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaaan atau permohonan. Apabila kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk mengadakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak memohon dan sebagainya, maka akan terbentuk tindak tutur langsung (direct speech). Sebagai contoh : Yuli merawat ayahnya. Siapa orang itu? Ambilkan buku saya! Ketiga kalimat tersebut merupakan tindak tutur langsung berupa kalimat berita, tanya, dan perintah.
Tindak tutur tak langsung (indirect speech act) ialah tindak tutur untuk memerintah seseorang melakukan sesuatu secara tidak langsung. Tindakan ini dilakukan dengan memanfaatkan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah. Misalnya seorang ibu menyuruh anaknya mengambil sapu, diungkapkan dengan Upik, sapunya dimana?” Kalimat tersebut selain untuk bertanya sekaligus memerintah anaknya untuk mengambilkan sapu.
2. Tindak tutur literal dan tindak tutur tak literal
Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang dimaksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Sedangkan tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang dimaksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan kata-kata yang menyusunnya. Sebagai contoh dapat dilihat kalimat berikut.
1. Penyanyi itu suaranya bagus.
2. Suaramu bagus (tapi kamu tidak usah menyanyi)
Kalimat (1) jika diutarakan dengan maksud untuk memuji atau mengagumi suara penyanyi yang dibicarakan, maka kalimat itu merupakan tindak tutur literal, sedangkan kalimat (2) penutur bermaksud mengatakan bahwa suara lawan tuturnya jelek, yaitu dengan mengatakan “Tak usah menyanyi”. Tindak tutur pada kalimat (2) merupakan tindak tutur tak literal.
Apabila tindak tutur langsung dan tak langsung diinteraksikan dengan tindak tutur literal dan tak literal, maka akan tercipta tindak tutur sebagai berikut :
1. Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act), ialah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, dan menanyakan sesuatu dengan kalimat tanya. Misalnya : Ambilkan buku itu! Kusuma gadis yang cantik”, Berapa saudaramu, Mad?

2. Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act) adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh penutur. Misalnya : “Lantainya kotor”. Kalimat itu jika diucapkan seorang ayah kepada anaknya bukan saja menginformasikan, tetapi sekaligus menyuruh untuk membersihkannya.

3. Tindak tutur langsung tidak literal (direct non literal speech) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud dan tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Misalnya : “Sepedamu bagus, kok”. Penuturnya sebenarnya ingin mengatakan bahwa sepeda lawan tuturnya jelek.


4. Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect non literal speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang ingin diutarakan. Untuk menyuruh seorang pembantu menyapu lantai kotor, seorang majikan dapat saja mengutarakannya dengan kalimat “Lantainya bersih sekali, Mbok”.

C. Daftar Pustaka
Gunarwan, Asim. 1994. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta” dalam PELBA 7. Jakarta: Unika Atmajaya Press.
Leech, Geoffrey.1983. Principles of Pragmatics. London: Longman
Rohmadi, Muhammad. 2004. Prakmatik Teori dan Analisis. Yogyakarta: Lingkar Media
Wijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset.